Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem

Read Time:2 Minute, 10 Second

Pandangan bahwa Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut berdampak negatif pada ekonomi ternyata tidak bersifat komprehensif dan tidak bisa dijadikan acuan utama dalam kebijakan pengelolaan gambut di Indonesia.

Mahawan Karuniasa, Dosen Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, dalam Talk Show bertema “Kebijakan Pengelolaan Gambut di Indonesia Ditinjau Dari Aspek Ekologi, Ekonomi, dan Sosial” yang diadakan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia di Kampus UI Salemba pada Selasa (27/2), menyimpulkan bahwa analisis dan kebijakan ekonomi tentang sumber daya alam dan lingkungan harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan aspek ekologis, sosial, dan ekonomi. Indikator-indikator lingkungan seperti status sumber daya alam dan jasa lingkungan perlu dikembangkan untuk mendukung kajian pembangunan berkelanjutan yang lebih komprehensif.

Talk Show tersebut dihadiri oleh tokoh lingkungan hidup dan Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, Emil Salim, Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead, dan Penasehat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nur Masripatin.

Indonesia memiliki ekosistem gambut seluas 24,7 juta hektar, menurut Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, dengan 12,4 juta hektar untuk fungsi lindung dan 12,3 juta hektar untuk fungsi budidaya. Emil Salim mengungkapkan bahwa praktik pembuatan kanal untuk mengeringkan gambut bertujuan untuk meningkatkan kualitas biji kelapa sawit, namun gambut kering berisiko tinggi terhadap kebakaran.

Konflik muncul antara upaya meningkatkan kualitas sawit dan ancaman kebakaran gambut yang dapat merusak ekosistem. Pembukaan lahan dengan cara membakar, yang dipilih karena biaya rendah, dapat menyebabkan kebakaran gambut besar-besaran seperti yang terjadi pada tahun 2015, yang diperkirakan Bank Dunia mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 226,37 triliun rupiah. Tantangan Indonesia ke depan adalah merencanakan pemanfaatan sumber daya alam yang ramah lingkungan untuk keberlanjutan pembangunan, terutama dengan pertumbuhan jumlah penduduk yang terus meningkat.

Kepala BRG, Nazir Foead, mencatat tiga hal penting dalam restorasi gambut: kolaborasi antara berbagai pihak, penempatan masyarakat lokal di garda terdepan, dan pelaksanaan restorasi oleh para pemangku kepentingan di bawah koordinasi BRG. Dalam konteks perubahan iklim, perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut adalah kunci untuk memenuhi komitmen Indonesia dalam Paris Agreement, yaitu mengurangi emisi sebesar 29% secara mandiri dan hingga 41% melalui kemitraan internasional pada tahun 2030. Pada tahun 2014, sebelum kebakaran besar 2015, kontribusi emisi CO2 dari kebakaran gambut mencapai 32% dari total emisi sektor kehutanan dan penggunaan lahan, atau sekitar 17% dari total emisi 1,84 Giga ton CO2 ekuivalen. Selain itu, pengelolaan ekosistem gambut yang berkelanjutan sangat penting untuk keberlanjutan pembangunan dan masa depan Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Mahawan Karuniasa, Ketua Umum Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia.

Acara Talk Show juga dihadiri oleh Supiandi Sabiham, Ketua Masyarakat Gambut Indonesia, dan Kiki Veriko, Wakil Kepala LPEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %
Previous post Bamus Betawi Dan Anna Mariana Meminta
Next post SAR Brimob Batalyon B Pelopor Korem 051